Penjajahan
Para Kapitalis Minyak Bumi Internasional
Dunia pada era globalisasi saat ini sedang dipermainkan
oleh ulah para pemilik kapital yang menguasai aset strategis minyak bumi
internasional, baik pada tataran kepemilikan sumberdaya maupun pada tingkatan
pengolahan dan distribusinya. Proses penjajahan ini hanya dapat dilawan
kehadirannya dengan sistem regulasi yang bertanggung jawab oleh kelompok
negara-negara pemakai minyak bumi maupun negara penghasil minyak bumi yang
masih memiliki naluri kemanusiaan.
Kenaikan harga minyak internasional yang telah menembus
batas-batas kewajaran mulai dari tingkatan US$ 80, kemudian merangkak menjadi
US$100 dan yang terakhir mendekati US$130 per barrelnya, semuanya dipicu oleh
“trigger factors” utama: “kerakusan dan keangkuhan para kapitalis minyak bumi
internasional”. Siapakah mereka?
Tidak sulit menerkanya karena mereka ini terdiri dari kelompok
pertama, yaitu para stakeholders utama kelompok negara produsen pemilik dan
penghasil asset minyak bumi. Kelompok berikutyang merupakan promotor
kerusakan harga minyak bumi adalah para pemilik dan pengusaha pengolahan minyak
bumi, yang dengan siasat liciknya berhasil mengelabuhi dan bersekongkol dengan
para negara produsen pemilik aset strategis internasional ini. Para pemilik ini
umumnya adalah kelompok Yahudi Kaya. Mereka terdiri dari perusahaan-perusahaan
seperti Caltex, British Petroleum, Shell, Marathon Oil Company dan sebagainya. Kelompok
terakhir adalah para kolaborator atau investor stratejik pemburu profit
yang mendapatkan mandat dan tugas untuk mengamankan “windfall profit” yang
diperoleh oleh pemilik dan pengelola perusahaan pada kedua kelompok sebelumnya.
Menurut teori ekonomi murni harga suatu barang akan
menjadi kompetitif apabila struktur pasar industri kegiatan ekonomi tersebut
bersifat persaingan pasar yang murni. Artinya jumlah penjual dan pembeli
sama-sama memiliki kekuatan tawar menawar. Nah pada kasus minyak bumi
internasional, hanya sekelompok negara di dunia yang memiliki asset strategis
ini. Sehingga struktur pasarnya adalah oligopoly. Tetapi mengingat produk
minyak bumi ini sulit dilakukan differensiasi maka para produsen minyak bumi
tergugah untuk melakukan eksplisit agreement melalui pengaturan kuota produksi
dalam menetapkan harga pasar internasional. Mereka kemudian mendirikan
organisasi negara-negara penghasil minyak bumi dibawah bendera OPEC.
Keanggotan OPEC terkluster menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama terdiri atas negara penghasil utama, seperti Saudi Arabia, Iran,
Irak, Nigeria, dan beberapa kelompok negara Amerika Latin. Selebihnya merupakan negara
penghasil minyak bumi kelas gurem, termasuk Indonesia. Sebelum tahun 1960an
harga minyak bumi masih relatif murah, karena manajemen pengolahan minyak bumi
masih dimiliki dan dikendalikan manajemennya oleh pimpinan negara yang
bermatabat dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Akibatnya walaupun
mereka bergabung dalam kartel, tetapi harga pasar minyak bumi internasional
dijaga tidak melebihi US$20. Singkat cerita, karena kebutuhan devisa di dalam
negeri dari negara OPEC ini meningkat terus, dan transisi kepemimpinan nasional
yang tidak sebaik pendahulunya, maka secara bertahap mereka berkolaborasi
dengan para pemilik kapital dunia untuk meningkatkan harga minyak internasional
mencapai US$ 40 per barrelnya.
Kondisi ini berikut peningkatan permintaan dunia akibat
globalisasi, kemudian mendorong para pemilik kapital raksasa dari Negara Barat
untuk berinvestasi di wilayah negara anggota OPEC tersebut. Mereka dengan
liciknya dapat mengelabui para pimpinan nasional negara OPEC dan para pejabat
tinggi bidang energi untuk membuka kerjasama dalam kegiatan penambangan dan
pengolahan minyak bumi yang sangat tidak menguntungkan kepentingan negara
pemilik asset strategis ini. Dengan dalih tingginya resiko dan biaya inovasi
dalam kegiatan eksplorasi penambangan baru, mereka dapat mendikte kegiatan produksi
dan pemasaran produk akhir perusahaan di pasar internasional. Akhirnya dalam
kondisi apapun keputusan-keputusan organisasi OPEC sangat didominir oleh
kepentingan kelanggengan kolaborasi dengan pihak-pihak kapitalis Barat ini.
Tidak heran jika kemudian harga minyak bumi internasional melonjak pesat
mencapai harga $US 90 per barrel.
Para pejabat negara-negara OPEC sebenarnya mengetahui
dampak buruk kenaikkan harga tersebut bagi kesejahteraan penduduk miskin dunia,
tetapi mereka menjadi tidak berdaya dengan penjajahan ekonomi yang dilakukan
para pemilik dan perusahaan minyak bumi asing. Asal saja kolaborasi yang
merugikan ini dapat diputus bukan tidak mungkin tingkat harga minyak bumi
internasioanl dapat dikembalikan pada tingkat yang wajar sekitar US$ 40 per
barrelnya. Godaan keserakahan duniapun tertular pada negara utama pemilik asset
minyak bumi di Timur Tengah. Bahkan dengan iming-iming bonanza harga minyak
bumi yang tinggi, merekapun kemudian berzibaku membantu Amerika Serikat dalam
memusnahkan para pimpinan nasionalistis negara penghasil minyak bumi, seperti
halnya terjadi di negara Irak dan negara Iran. Iming-iming “Windfall profit”
yang tinggi ini dalam sekejap mengubah kedudukan mereka menjadi Kelompok
Kapitalis Berjubah dari Timur Tengah, yang menghalalkan kemunduran tingkat
kesejahteraan kelompok konsumen penduduk miskin dunia. Mengapa hal ini dapat
terjadi?
Sejak tahun 2005 tambahan kekayaan dari para Kapitalis
Yahudi dan Kapitalis Berjubah ini menjadi sangat luar biasa tingginya.
Merekapun mulai aktif menggunakan jasa broker dan lembaga finansial untuk
menempatkan dan memperbanyak keuntungan kapital di pasar uang, pasar modal dan
pasar komoditi. Kejatuhan nilai US dollar pada tahun 2007, membuat para lembaga
perantara tersebut melakukan pembelian gila-gilaan dalam komiditi berjangka.
Awalnya mereka mencari barang-barang hasil pertambangan selain minyak bumi.
Tetapi karena kepanikan atas kemungkinan potensi kerugian dari kekayaan para
pemilik windfall minyak bumi, merekapun rela merusak pasar komodoti utama dunia
yang merupakan kebutuhan utama masyarakat miskin dunia, seperti CPO, terigu,
jagung, kedele dan beras. Bagaimana kejadian ini dapat dicegah agar tidak
terulang di masa depan?
Mekanisme pasar murni pasti tidak akan mampu untuk
menyelesaikan permasalahan dunia yang paling penting ini. Hal ini disebabkan
teori-teori perekonomian makro yang diaplikasikan oleh para tehnokrat ekonomi
di sebagian besar negara-negara dunia tidak menginternalkan konstelasi politik
ekonomi dari pasar minyak bumi internasional, yang saya kemukakan di atas. Bank
Dunia dan IMF sudah pasti akan menjaga kepentingan para pemilik kapital dunia.
Demikian juga dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, pasti
akan sangat tidak menyetujui dengan munculnya pimpinan negara berjiwa
nasionalistis pro-rakyat di negara OPEC. Mereka menginginkan kehadiran pimpinan
nasional yang moderat, tidak macam-macam dengan kontrak jangka panjang
pengelolaan minyak bumi di wilayahnya masing-masing. Rantai kemapanan inilah
yang perlu diakhiri jika perekonomian dunia akan menjadi lebih stabil, tidak
bergejolak dan pro pada kepentingan masyarakat miskin.
Bagi Indonesia, kita tidak tentunya tidak dapat berharap
banyak pada keberadaan kepemimpinan nasional saat ini. Masa kepemerintahan mereka
sangat terbatas, untuk mampu melakukan terobosan-terobosan perubahan. Kita akan
menanti munculnya pimpinan Indonesia di masa depan yang berani melakukan Agenda
Perubahan berikut ini:
Pertama, segera melakukan tindakan nyata keluar dari
Organisasi Negara penghasil minyak bumi OPEC yang mandul dan tidak sensitif
atas dampak tingginya harga minyak dunia, yang menjadi kepentingan rakyat
miskin. Pemerintahpun harus aktif melakukan kegiatan lobby internasional untuk
dikeluarkannya regulasi pasar komiditi yang menyangkut hajad masyarakat banyak
di Negara Sedang Berkembang.
Kedua, segera melakukan negosiasi ulang atas perjanjian
kontrak bagi hasil dalam pengelolaan minyak bumi di tanah air. Dalam hal ini
kita tidak ingin melakukan tindak penjarahan atas perusahaan-perusahaan minyak
asing seperti di Amerika Latin, tetapi kita akan melakukan negosiasi win-win
dari perjanjian-perjanjian penambangan dan pengolahan minyak bumi yang telah
dilakukan oleh Pemerintahan pada masa lalu, yaitu terhadap skenario kepengusahaan
yang disepakati pada saat kondisi harga internasional masih di bawah US$ 40 per
barrelnya.
Ketiga, membebaskan perusahaan Pertamina untuk tidak
menyetor keuntungan perusahaannya ke pos neraca APBN. Sebaliknya dana tersebut
akan digunakan untuk menambah kapasitas produksi minyak bumi di tanah air.
Dalam hal ini Pemerintah perlu segera melepas rantai pengawasan langsung
perusahaan ini dari jalur birokrasi di Kantor Menteri Negara BUMN, dan mencari
CEO perusahaan yang berkompeten dan berkaliber internasional untuk memajukan
Pertamina sebagai produsen pengolahan minyak bumi di negaranya sendiri, seperti
halnya Petronas di Malaysia. Restrukturisasi holding perusahaan Pertamina harus
segera diperkuat, dengan memisahkan anak perusahaan untuk pencarian tambang
baru, anak perusahaan dalam kegiatan produksi dan pengilangan minyak bumi, dan
anak perusahaan dalam kegiatan pemasokan dan distribusi produk. Kemudian
menggantikan komisaris-komisaris perusahaan Wakil Pemerintah dengan
komisaris-komisaris yang lebih indipenden yang tidak memiliki afiliasi dengan
jalur Partai Politik maupun jalur Angkatan Bersenjata.
Keempat, tidak mengulang kebijakan kurang terpuji dengan
menaikkan harga BBM di dalam negeri, mengingat dampaknya bagi masyarakat miskin
dan berpendapatan rendah yang sangat dominan.
Komentar
Posting Komentar